Harga Rumah Masih Naik – Di tengah bayang-bayang ketidakpastian ekonomi global, inflasi yang terus menghantui, serta daya beli masyarakat yang kian tertekan, satu fakta mencuat dengan terang: harga rumah di Indonesia tetap saja naik. Meskipun kenaikannya tergolong melambat, yakni hanya 1,39 persen secara tahunan (year-on-year) per kuartal I tahun 2025, kenyataan ini tetap menyentil logika banyak orang. Bagaimana bisa, ketika masyarakat semakin kesulitan membeli rumah, harga hunian justru tidak turun, bahkan cenderung terus melambung?
Menurut data bonus new member terbaru dari Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia, indeks harga properti residensial (IHPR) tetap mencatatkan kenaikan. Artinya, meskipun laju pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan tahun sebelumnya, tren harga rumah masih menunjukkan arah ke atas. Fakta ini menjadi tamparan keras bagi para pencari rumah pertama (first time home buyer) yang selama ini berharap harga properti akan mengalami koreksi seiring dengan kondisi ekonomi yang tidak terlalu menggembirakan.
Harga Rumah Masih Naik? Peluang Dan Juga Kerugian
Siapa yang tidak ingin punya rumah sendiri? Tapi hari ini, impian itu terasa seperti mengejar fatamorgana. Harga rumah yang tak kunjung turun menjadikan kepemilikan rumah sebagai mimpi mewah yang sulit digapai, terutama bagi generasi milenial dan Gen Z. Dengan rata-rata kenaikan gaji yang tidak sejalan dengan kenaikan harga properti, jurang antara keinginan dan kenyataan makin lebar.
Kenaikan 1,39 persen memang terlihat kecil di atas kertas. Namun, bagi mereka yang sedang menabung untuk uang muka, setiap persen kenaikan itu adalah beban tambahan. Ambil contoh, rumah seharga Rp500 juta akan mengalami kenaikan sekitar Rp6,95 juta dalam satu tahun. Jumlah itu bisa berarti tambahan beberapa bulan kerja keras hanya untuk menutup gap harga yang terus melebar. Dan sayangnya, harga rumah tidak mengenal kata “mundur”.
Baca Juga Berita Terbaik Lainnya Hanya Di girardfurniture.com
Pengembang Tetap Menancapkan Taring
Meski kondisi pasar properti tidak sekuat sebelum pandemi, para pengembang tetap percaya diri melanjutkan proyek-proyek besar. Mereka tahu, permintaan akan rumah selalu ada, meski tak selalu terbeli. Lahan yang makin sempit di kota-kota besar, ditambah pembangunan infrastruktur yang terus digalakkan pemerintah, menjadi alasan utama mengapa harga tanah dan bangunan masih tinggi.
Alih-alih menawarkan hunian dengan harga lebih terjangkau, pengembang justru berlomba menciptakan proyek perumahan kelas menengah ke atas. Dengan embel-embel “modern”, “premium”, atau “eco living”, rumah-rumah ini dijual dengan harga fantastis. Tidak heran, pasar perumahan Indonesia menjadi semakin eksklusif, hanya bisa diakses oleh kelompok ekonomi tertentu.
Subsidi dan Skema Kredit Tak Lagi Menarik
Pemerintah sebenarnya sudah mencoba berbagai cara untuk menjembatani kesenjangan antara harga rumah dan kemampuan beli masyarakat. Program rumah subsidi, fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), hingga skema KPR dengan bunga rendah telah ditawarkan. Namun, semua itu tidak cukup menyentuh akar permasalahan: harga rumah tetap mahal.
Skema KPR pun kini tak lagi menarik seperti dulu. Dengan suku bunga kredit yang kembali naik seiring kebijakan moneter global, cicilan rumah makin mencekik. Banyak orang akhirnya memilih untuk menyewa atau tinggal bersama orang tua lebih lama karena membeli rumah bukan lagi pilihan yang rasional. Ironisnya, meskipun permintaan menurun, harga tetap naik—mengindikasikan bahwa pasar properti kini dikendalikan bukan oleh logika permintaan dan penawaran biasa, melainkan oleh ekspektasi keuntungan jangka panjang para pemilik modal.
Kesenjangan Semakin Menjadi
Satu hal yang tak bisa disangkal: kenaikan harga rumah, meski kecil, tetap memperparah kesenjangan sosial. Di satu sisi, mereka yang telah memiliki properti semakin diuntungkan dengan kenaikan nilai aset. Di sisi lain, mereka yang belum memiliki rumah harus bekerja dua kali lebih keras untuk mengejar ketertinggalan.
Kondisi ini menimbulkan dinamika baru di masyarakat: kelas menengah tertekan, kelas bawah tertinggal, dan hanya segelintir kelompok elit yang menikmati hasil dari melonjaknya nilai properti. Harga rumah bukan sekadar angka—ia kini menjadi simbol dari betapa tidak adilnya akses terhadap hak dasar: tempat tinggal yang layak.
Arah Pasar yang Sulit Diprediksi
Meski pertumbuhan hanya 1,39 persen, angka itu cukup untuk mengirim pesan jelas: pasar properti Indonesia belum akan mengendur. Sekalipun permintaan melemah, harga tetap bertahan. Tidak ada jaminan bahwa rumah akan menjadi lebih murah dalam waktu dekat. Bahkan, dengan rencana pemindahan ibu kota negara dan pembangunan infrastruktur masif, beberapa wilayah justru diproyeksi akan mengalami lonjakan harga lebih tinggi lagi.
Masyarakat yang selama ini menunggu momen “harga rumah turun” seolah sedang menunggu sesuatu yang tidak pasti. Sementara pengembang terus melaju, harga tanah terus melambung, dan strategi bisnis properti semakin lihai bermain di atas harapan orang banyak.