Target 3 Juta Rumah Terancam Gagal, REI Bongkar Masalahnya

Target 3 Juta

Target 3 Juta – Target ambisius pemerintah untuk membangun 3 juta rumah rakyat kembali dipertanyakan. Alih-alih menjadi solusi atas krisis perumahan yang terus memburuk, program ini justru terlihat seperti mimpi kosong di tengah tumpukan masalah birokrasi dan implementasi yang amburadul. Real Estate Indonesia (REI) pun akhirnya angkat suara. Dengan nada tegas dan kritis, mereka mengungkap berbagai hambatan yang selama ini ditutup-tutupi.

Ketua Umum REI, Joko Suranto, menyebutkan bahwa realisasi program sejuta rumah per tahun untuk rakyat, yang diklaim pemerintah sejak era Presiden Jokowi, kini menghadapi tantangan besar yang bisa menggagalkan seluruh target. “Jangan terus jual mimpi tanpa membereskan akar masalahnya,” tegasnya dalam sebuah konferensi pers nasional.

Harga Lahan Melejit, Pengembang Terkepung

Salah satu sorotan utama REI adalah harga lahan yang terus meroket. Di berbagai daerah, terutama di kawasan penyangga kota besar seperti Jabodetabek, harga tanah meningkat hingga dua kali lipat dalam kurun dua tahun terakhir. Ini jelas menjadi tamparan keras bagi pengembang yang ditugaskan membangun rumah bersubsidi.

Bayangkan, di satu sisi pemerintah menuntut harga jual rumah rakyat tetap di kisaran Rp 150 juta hingga Rp 200 juta, tapi di sisi lain harga tanah melambung tanpa kendali. Tak heran banyak pengembang kecil yang memilih mundur dari proyek ini, karena margin keuntungan yang nyaris nol. “Siapa yang mau kerja sosial tanpa insentif jelas? Ini bukan idealisme, ini soal kelangsungan usaha,” sindir Joko.

Regulasi Berbelit, Perizinan Jadi Mimpi Buruk

Masalah klasik lainnya adalah perizinan. Meski pemerintah mengklaim telah menyederhanakan proses melalui OSS (Online Single Submission), kenyataannya di lapangan sangat berbeda. Banyak pengembang mengeluhkan proses yang lambat, tidak transparan, bahkan masih sarat pungutan liar di level situs slot777.

REI membongkar fakta mencengangkan: rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk mengurus izin pembangunan rumah rakyat bisa mencapai 18 bulan! Padahal waktu efektif pembangunan fisik hanya butuh 6 hingga 8 bulan. Waktu terbuang hanya untuk menunggu para pejabat menandatangani berkas demi berkas. “Kalau pemerintah serius, bersihkan dulu birokrasi kotor ini,” ujar salah satu anggota REI dengan geram.

Skema Pembiayaan: Janji Manis Tanpa Realisasi

Skema pembiayaan untuk masyarakat berpenghasilan rendah pun jadi sorotan tajam. Pemerintah memang menyediakan KPR subsidi dengan bunga rendah, tapi kenyataannya tak semudah itu mendapatkannya. Banyak masyarakat tidak lolos BI Checking, meskipun penghasilan mereka masih di bawah Rp 4 juta per bulan.

Di sisi lain, bank penyalur KPR subsidi juga semakin selektif dan cenderung enggan mengambil risiko. Akibatnya, dari jutaan calon penerima manfaat, hanya segelintir yang benar-benar bisa mengakses rumah tersebut. “Jadi siapa sebenarnya yang bisa beli rumah ini? Jangan-jangan program ini hanya jadi kosmetik politik saja,” kritik REI tajam.

Ketersediaan Infrastruktur Minim, Rumah Tak Layak Huni

Selain itu, REI juga menyoroti kualitas hunian yang dibangun. Banyak rumah yang sudah selesai dibangun tapi tidak layak huni karena tidak tersedia infrastruktur dasar seperti air bersih, jalan layak, listrik stabil, hingga akses transportasi. Hal ini disebabkan lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Beberapa lokasi bahkan ditemukan rumah bersubsidi berdiri di kawasan rawan banjir, jauh dari fasilitas publik, dan tidak memiliki IMB yang sah. Pemerintah pusat hanya mengejar angka tanpa memperhatikan kualitas hidup penghuni. “Apa gunanya bangun rumah kalau orangnya ogah tinggal di sana?” ujar seorang pengembang dengan nada kecewa.

Janji Tinggal Janji, Siapa Bertanggung Jawab?

Program 3 juta rumah yang dicanangkan pemerintah seolah-olah menjadi proyek pencitraan semata. Realitas di lapangan menunjukkan betapa buruknya eksekusi dan lemahnya pengawasan. REI sebagai garda depan pembangunan perumahan nasional kini angkat tangan jika tidak ada perbaikan menyeluruh dari hulu ke hilir.

Dengan sederet masalah akut — mulai dari lahan mahal, perizinan berbelit, pembiayaan macet, hingga infrastruktur tak layak — program ini terancam kolaps. Ketika pengembang mundur satu per satu dan masyarakat tetap tak mampu membeli, siapa yang akan bertanggung jawab atas kegagalan besar ini? Pemerintah harus berhenti bermain drama dan mulai bertindak nyata, sebelum mimpi 3 juta rumah berubah menjadi kuburan janji politik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version